
Pernah nggak sih, kamu lagi sedih, stres, atau kecewa terus curhat ke temen, tapi malah dibalas dengan, “Senyum dong, semua pasti baik-baik aja!”?
Sekilas kelihatannya positif, tapi kok rasanya malah makin nggak enak? Nah, itu yang disebut toxic positivity.
Ucapan positif yang terkesan menyemangati tapi justru bikin kita merasa nggak didengerin atau bahkan bikin makin drop.
Yuk, kita bahas lebih dalam soal toxic positivity, dampaknya, dan gimana cara menghadapinya.
Buat kamu yang pengen jago General English atau Business English biar bisa bahas topik kayak gini dengan lancar, atau nyiapin tes IELTS dan TOEFL, cek Ultimate Education juga, ya!
Baca juga: 5 Kesalahan Penulisan Bahasa Indonesia yang Bikin Bingung
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kondisi saat seseorang terus-menerus mendorong pandangan positif secara berlebihan sambil mengabaikan atau menolak perasaan negatif seperti sedih, kecewa, atau marah.
Contohnya:
- “Jangan sedih, kan masih banyak yang lebih susah.”
- “Positive thinking aja, jangan drama.”
Meskipun maksudnya mungkin baik, tapi ucapan seperti itu justru bisa bikin orang merasa:
- Emosinya nggak valid.
- Bersalah karena merasa sedih.
- Nggak bisa bebas mengekspresikan perasaan.
Fakta Menarik: Psikolog menyatakan bahwa menekan emosi negatif justru bisa memperburuk stres dan kesehatan mental!
Kenapa Toxic Positivity Bisa Berdampak Negatif?
Meskipun terdengar positif, toxic positivity bisa menimbulkan dampak negatif seperti:
1. Emosi Terpendam
Karena takut dianggap “lemah” atau “nggak bersyukur”, orang jadi menahan perasaan mereka. Kalau terus-menerus ditahan, ini bisa memicu gangguan kecemasan atau depresi.
2. Merasa Nggak Didengarkan
Saat seseorang curhat, yang dibutuhkan adalah empati, bukan kalimat klise. Toxic positivity justru bikin mereka merasa sendirian dan nggak dimengerti.
3. Rasa Bersalah
Kalau kita nggak bisa terus “positif”, bisa muncul perasaan gagal atau bersalah karena nggak sesuai ekspektasi lingkungan.
4. Menghambat Proses Belajar
Toxic positivity bisa menghalangi seseorang untuk belajar dari kesalahan karena terlalu fokus menyembunyikan masalah, bukan menyelesaikannya.
Fakta Menarik: Orang yang bisa menerima dan memahami emosi negatif cenderung lebih tangguh dalam menghadapi masalah!
Baca juga: Fixed Mindset vs Growth Mindset: Apa Bedanya?
Contoh Toxic Positivity di Kehidupan Sehari-Hari
- Teman kehilangan pekerjaan, kita bilang: “Tenang, pasti ada jalan lain!” tanpa mendengarkan dulu perasaannya.
- Ada yang sedih karena hubungan kandas, kita jawab: “Ceria dong, banyak ikan di laut!”
- Di medsos, banyak banget kutipan kayak: “Jangan kasih ruang buat pikiran negatif!” yang bikin orang takut jujur sama diri sendiri.
Cara Menghindari Toxic Positivity
Pengen jadi temen yang bikin orang nyaman? Yuk, mulai dari langkah kecil ini:
Dengar dengan Empati
Kadang orang cuma ingin didengar, bukan diberi solusi. Tahan diri dulu sebelum menjawab, biarkan mereka selesai cerita.
Validasi Perasaan
Katakan, “Wah, aku bisa ngerti itu pasti berat,” bukan langsung menyemangati tanpa konteks.
Hindari Kalimat Klise
Daripada bilang “Semua akan baik-baik aja,” lebih baik tanyakan, “Ada yang bisa aku bantu?”
Biarkan Orang Merasa Emosinya
Semua emosi valid. Jangan buru-buru menyuruh orang “bangkit” tanpa mereka sempat memproses rasa sakitnya.
Asah Kemampuan Bahasa
Pengen bisa dukung temen pake bahasa Inggris yang profesional? Yuk, coba kursus bahasa di Ultimate Education!
Baca juga: Time Blocking! Rahasia Produktivitas yang Wajib Kamu Coba!
Bahasa Sebagai Komunikasi itu Penting!
Ngomongin perasaan itu susah, apalagi dalam bahasa asing. Tapi kemampuan ini penting banget, terutama kalau kamu:
- Lagi kerja di lingkungan internasional.
- Pengen ambil tes IELTS, TOEFL, GMAT, GRE, atau SAT.
- Ingin komunikasi yang lebih profesional
Tenang, di Ultimate Education, kamu bisa belajar bahasa Inggris lewat kursus General English, Business English, atau les privat yang seru dan fleksibel. Ada juga jasa konsultasi motivation letter buat kamu yang lagi prepare study, lho!
