
Pengangguran adalah salah satu masalah ekonomi yang paling kompleks dan berdampak luas bagi sebuah negara, memengaruhi tidak hanya stabilitas finansial individu tetapi juga pertumbuhan GDP nasional, indeks kebahagiaan masyarakat, dan bahkan risiko konflik sosial. Menurut laporan International Labour Organization (ILO) World Employment and Social Outlook 2025, tingkat pengangguran global diproyeksikan stabil di 5,2%—naik tipis dari 5,1% pada 2024—akibat dampak AI automation yang menggantikan 85 juta pekerjaan low-skill, meskipun menciptakan 97 juta baru di sektor hijau dan digital. Tingginya tingkat pengangguran dapat menyebabkan berbagai dampak negatif seperti meningkatnya angka kemiskinan (World Bank: 1% naik unemployment = 0,5% naik poverty rate), ketimpangan sosial (Gini coefficient naik 3–5 poin), dan ketidakstabilan ekonomi (kontraksi GDP hingga 1,5% per tahun, IMF 2025).
Bahkan, dalam beberapa kasus, pengangguran yang tinggi dapat memicu gejolak politik dan sosial yang berkepanjangan, seperti yang terlihat di Arab Spring 2011 (di mana youth unemployment >25% menjadi katalisator) atau protes di Sri Lanka 2022. Faktor struktural seperti mismatch skills (40% lulusan tidak siap kerja, OECD 2025), diskriminasi gender (women unemployment 2x men di MENA), dan dampak iklim (1 miliar pekerja rentan di negara berkembang) memperburuk situasi. Pada tahun 2025, beberapa negara di dunia masih berjuang menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi, terutama di Afrika Sub-Sahara (rata-rata 8,5%) dan Timur Tengah (12,3%).
Faktor-faktor seperti ketidakstabilan politik (konflik Sudan, Palestina), rendahnya investasi FDI (turun 15% di negara berisiko tinggi, UNCTAD 2025), kurangnya kesempatan kerja di sektor formal (80% pekerja informal di Afrika Selatan), hingga ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri (digital skills gap 50%, World Economic Forum 2025) menjadi penyebab utama tingginya angka pengangguran di negara-negara ini. Solusi potensial termasuk upskilling via edtech (seperti Coursera for Governments), kebijakan green jobs (1,5 miliar peluang oleh 2030, ILO), dan stimulus UMKM (menciptakan 60% pekerjaan baru di emerging markets).
Berdasarkan data terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) World Economic Outlook April 2025, Trading Economics, dan World Population Review, berikut adalah sepuluh negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di dunia pada tahun 2025—lengkap dengan analisis penyebab, dampak, dan strategi mitigasi untuk insight mendalam seperti “cara atasi youth unemployment di Afrika Selatan” atau “proyeksi pengangguran Sudan 2030”. Data ini menggunakan definisi ILO (usia 15–64 tahun, aktif mencari kerja).
Artikel ini juga akan menganalisis mengenai penyebab utama (struktural vs siklikal), dampak makro-ekonomi (Okun’s Law: 1% naik unemployment = 2% turun GDP), dan solusi potensial seperti Universal Basic Income (UBI pilot di Georgia) atau apprenticeship programs (sukses di Spanyol, turunkan youth unemployment 10%).
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS)
1. Sudan (47,2%)
Sudan menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi, yaitu mencapai 47,2% (IMF 2025)—naik dari 40% pada 2023 akibat konflik sipil yang dimulai April 2023 antara SAF dan RSF. Penyebab utama dari tingginya pengangguran di Sudan adalah ketidakstabilan politik yang berkepanjangan akibat konflik sipil dan kudeta militer (terakhir 2021), yang menghancurkan infrastruktur, mengusir 2 juta+ investor, dan mengganggu 80% rantai pasok pertanian—sektor utama (35% GDP, 60% tenaga kerja).
Hal ini menghambat investasi asing (FDI turun 70% ke USD 200 juta, UNCTAD 2025) dan mengakibatkan banyak perusahaan lokal yang terpaksa tutup, terutama di Khartoum dan Darfur. Selain itu, rendahnya akses terhadap pendidikan (GER tersier 10%, terendah Afrika) dan pelatihan keterampilan juga menjadi kendala besar bagi angkatan kerja Sudan (70% di bawah 30 tahun) untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dengan youth unemployment 60%+. Dampak: 25 juta+ rentan kelaparan (WFP 2025), migrasi 1,5 juta ke Chad/Uganda. Solusi potensial: ceasefire + humanitarian corridor untuk restart agriculture (potensi ciptakan 500.000 jobs via UN Peacebuilding Fund), vocational training via IOM (target 100.000 youth), dan diversifikasi ke renewable energy (solar potential 2.000 kWh/m²/tahun).
2. Eswatini (37,64%)
Eswatini (sebelumnya Swaziland) memiliki tingkat pengangguran 37,64% (World Population Review 2025)—tertinggi kedua Afrika—akibat monarki absolut yang menghambat reformasi ekonomi, ketergantungan pada Afrika Selatan (70% ekspor), dan dampak HIV/AIDS (prevalensi 27%, ILO 2025) yang melemahkan tenaga kerja. Masalah utama adalah ketimpangan ekonomi (Gini 54,6, tertinggi dunia) dan kurangnya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri seperti manufaktur tekstil (50% ekspor).
Ketidakstabilan dalam kebijakan ekonomi (inflasi 5,8%) dan peraturan ketenagakerjaan yang kompleks (hanya 30% tenaga kerja formal) turut memperburuk kondisi pasar tenaga kerja, dengan youth unemployment 55%+. Dampak: 60% populasi miskin ( Pengangguran di Palestina mencapai 24% (ILO 2025, West Bank 13%, Gaza 45% pasca-eskalasi 2023)—tertinggi di Timur Tengah—terutama disebabkan oleh situasi politik yang tidak stabil akibat konflik berkepanjangan dengan Israel, blokade Gaza sejak 2007, dan pendudukan West Bank yang membatasi mobilitas 2,5 juta pekerja. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi (GDP kontraksi 35% di Gaza 2023–2025) dan investasi (FDI USD 100 juta/tahun), yang menyebabkan minimnya kesempatan kerja di sektor formal (hanya 30%). Sektor usaha kecil dan menengah (UKM), yang seharusnya menjadi motor pertumbuhan ekonomi (90% pekerjaan), juga mengalami kendala besar akibat blokade ekonomi, keterbatasan sumber daya, dan restriksi impor (80% bahan baku terblokir). Dampak: 80% populasi Gaza bergantung bantuan (UNRWA), youth unemployment 60%+. Solusi: two-state solution + economic zones di Jenin (ciptakan 50.000 jobs via World Bank), vocational training via UNCTAD (target 100.000 youth), dan digital economy boost (e-commerce via Palestine Tech Hub). Georgia memiliki tingkat pengangguran 18,6% (IMF 2025)—naik dari 16,8% 2024 akibat dampak perang Ukraina dan emigrasi 100.000+ pekerja ke EU. Meskipun negara ini telah melakukan reformasi ekonomi seperti EU Association Agreement (2014), masih ada tantangan besar dalam menciptakan lapangan kerja yang stabil, terutama di rural areas (unemployment 25%). Salah satu masalah utamanya adalah ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan pasar kerja, dengan 40% lulusan STEM tidak match dengan IT/tourism demand. Sehingga menyebabkan banyaknya lulusan perguruan tinggi kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka, ditambah brain drain ke Polandia/Jerman. Dampak: GDP per capita USD 8.000 (terendah EU candidate), poverty 15%. Solusi: EU4Youth program (skills training 50.000 youth), tourism boost (Black Sea coast, 5 juta visitor/tahun), dan SME grants via Enterprise Georgia (target 20.000 jobs 2025). Dengan tingkat pengangguran 15,3% (Trading Economics 2025), Bosnia dan Herzegovina masih menghadapi kesulitan dalam menciptakan stabilitas ekonomi pasca-konflik Dayton Accord 1995. Salah satu penyebab utama adalah rendahnya tingkat investasi asing (FDI USD 500 juta/tahun, terendah Balkan) dan fragmentasi etnis (Republika Srpska vs Federation) yang menghambat reformasi tunggal. Hal ini membuat pertumbuhan sektor industri dan jasa jadi berjalan lambat, dengan youth unemployment 35%+ dan 50% tenaga kerja informal. Selain itu, banyaknya tenaga kerja yang bermigrasi ke Jerman/Austria (200.000+ sejak 2020) juga memperburuk kondisi ekonomi domestik, menyebabkan “demographic winter” (populasi turun 10% sejak 1991). Dampak: GDP per capita EUR 6.500, poverty 17%. Solusi: EU accession reforms (target 2028), tourism Sarajevo (1 juta visitor/tahun), dan vocational training via GIZ (10.000 youth/tahun). Meskipun Makedonia Utara (North Macedonia) telah menunjukkan pertumbuhan ekonomi 3,5% YoY (2024), tingkat pengangguran masih cukup tinggi di 14,1% (IMF 2025)—terutama di kalangan youth 30%+ akibat EU accession delays dan dampak COVID. Tantangan terbesar yang dihadapi negara ini adalah kurangnya sektor industri yang kuat (manufaktur hanya 15% GDP) dan minimnya inovasi dalam dunia usaha, dengan FDI terfokus di Skopje saja. Baca juga: 7 Negara ASEAN dengan Tingkat Pengangguran Tertinggi Selain itu, sistem pendidikan yang belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan industri (GER tersier 40%, tapi mismatch skills 45%) juga menjadi faktor penyebab tingginya pengangguran, dengan 20% lulusan migrasi ke EU. Dampak: GDP per capita EUR 7.200, poverty 21%. Solusi: EU enlargement funds (EUR 1 miliar 2025–2027), IT outsourcing boom (Skopje seperti “Balkan Bangalore”), dan apprenticeship via ILO (target 15.000 youth). Dengan tingkat pengangguran 14% (World Bank 2025), Armenia menghadapi tantangan dalam menciptakan ekonomi yang lebih beragam pasca-konflik Nagorno-Karabakh 2023 yang mengusir 100.000+ warga dan kontraksi GDP 7%. Ketergantungan yang tinggi pada sektor tertentu seperti pertanian (20% GDP, 35% tenaga kerja) dan mining membuat ekonomi negara ini rentan terhadap perubahan global seperti harga komoditas turun 15%. Kurangnya investasi dalam bidang teknologi (IT sector hanya 5% GDP vs 15% di Georgia) dan infrastruktur (jalan rusak 40%) juga menghambat pertumbuhan sektor-sektor baru yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dengan brain drain 20.000+ youth/tahun ke Rusia/EU. Dampak: poverty 25%, remittance-dependent 20% GDP. Solusi: EU4Business (EUR 50 juta untuk SME), tech hub Yerevan (seperti “Silicon Armenia”), dan vocational training via ADB (target 50.000 jobs di green energy). Maroko memiliki tingkat pengangguran 11,7% (ILO 2025)—naik dari 10,2% 2023 akibat gempa Al Haouz 2023 (12.000 korban) dan kekeringan parah (produksi gandum turun 40%). Meskipun sektor pariwisata berkembang (10 juta visitor 2024), sektor pertanian (40% tenaga kerja) dan manufaktur (tekstil, otomotif) masih menghadapi tantangan besar dalam menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi 12 juta youth (unemployment 30%+). Masalah struktural dalam perekonomian seperti birokrasi yang kompleks (World Bank Ease of Doing Business #53) dan rendahnya produktivitas tenaga kerja (GDP per hour USD 6 vs EU USD 50) turut menjadi penghambat utama dalam penyerapan tenaga kerja, dengan 60% pekerja informal. Dampak: poverty 15%, migrasi 100.000+/tahun ke Spanyol. Solusi: Plan Maroc Vert 2.0 (irigasi modern ciptakan 200.000 jobs), automotive cluster Tangier (Renault, Peugeot), dan youth entrepreneurship via Maroc PME (10.000 startup/tahun). Spanyol merupakan satu-satunya negara di Eropa Barat yang masuk dalam daftar ini, dengan tingkat pengangguran 11,3% (Eurostat 2025)—turun dari 26% pasca-krisis 2008 tapi masih tertinggi EU. Krisis ekonomi yang pernah melanda negara ini beberapa tahun lalu, ditambah dengan dampak pandemi COVID-19 (job losses 1 juta di tourism), masih meninggalkan jejak panjang dalam pasar tenaga kerja, terutama youth unemployment 26,2% (tertinggi EU). Pengangguran di kalangan anak muda menjadi masalah serius di Spanyol, ini dibuktikan dengan banyaknya lulusan universitas merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka, akibat mismatch skills (50% lulusan humaniora vs demand IT/tourism) dan kontrak temporer 25% tenaga kerja. Dampak: NEET rate 16% (not in employment, education, training), social unrest seperti 15M movement. Solusi: NextGenerationEU funds (EUR 140 miliar 2021–2026 untuk green jobs), apprenticeship via SEPE (target 500.000 youth), dan digital skills bootcamps (Google Career Certificates). Albania menghadapi tingkat pengangguran 11% (IMF 2025)—stabil dari 11,6% 2024—akibat minimnya investasi asing (FDI USD 1,4 miliar, terendah Balkan) dan rendahnya daya saing industri lokal (manufaktur 10% GDP). Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya angka pengangguran adalah ketergantungan pada remitansi (15% GDP dari diaspora) dan tourism (20% pre-COVID), yang rentan terhadap geopolitik seperti perang Ukraina. Selain itu, banyaknya penduduk yang memilih untuk bermigrasi ke Italia/Yunani (50.000+/tahun) juga menyebabkan pasar tenaga kerja dalam negeri mengalami stagnasi, dengan youth unemployment 22% dan informal economy 60%. Dampak: GDP per capita EUR 6.800, poverty 23%. Solusi: EU candidate status (target 2028) + IPA funds (EUR 2 miliar untuk infrastructure), tourism diversification (Albanian Riviera), dan vocational training via INSTAT (target 20.000 jobs di IT/agro). Tingkat pengangguran yang tinggi tidak hanya berdampak pada individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga memengaruhi kondisi sosial dan ekonomi suatu negara secara keseluruhan, dengan multiplier effect hingga 2,5x (Okun’s Law: 1% naik unemployment = 2% turun output). Salah satu dampak terbesar adalah meningkatnya angka kemiskinan, karena banyaknya penduduk yang tidak memiliki pendapatan tetap—World Bank estimasi 1% naik unemployment = 0,5% naik extreme poverty rate, terutama di negara berpenghasilan rendah seperti Sudan atau Palestina. Selain itu, pengangguran juga dapat menyebabkan peningkatan angka kejahatan (korelasi 0,6 dengan homicide rate, UNODC 2025) dan ketidakstabilan sosial akibat frustrasi ekonomi yang dialami masyarakat, seperti yang terlihat di Afrika Selatan (protes service delivery 2024) atau Spanyol (Indignados movement). Dari sisi ekonomi, tingginya jumlah pengangguran akan mengurangi daya beli masyarakat (konsumsi turun 1,2%), yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional (kontraksi 1–2% GDP, IMF model) dan meningkatkan beban fiskal (unemployment benefits 2–5% anggaran). Oleh karena itu, kebijakan untuk mengatasi pengangguran harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan sektor swasta, dengan pendekatan holistik seperti investasi pendidikan (ROI USD 10 per USD 1 diupayakan, World Bank), stimulus fiskal targeted, dan kolaborasi PPP (public-private partnership) untuk job creation—seperti yang sukses di Jerman (apprenticeship model turunkan unemployment 3%). Untuk mengatasi tingginya tingkat pengangguran, negara-negara yang terdampak perlu menerapkan berbagai strategi yang efektif, berbasis data dan evidence-based policy dari ILO/World Bank. Strategi ini harus menargetkan structural unemployment (mismatch skills) dan cyclical (ekonomi downturn), dengan fokus pada youth dan women (yang menyumbang 60% global unemployed). Baca juga: 7 Negara ASEAN dengan Tingkat Pengangguran Tertinggi Implementasi solusi ini memerlukan kolaborasi multi-stakeholder: pemerintah (kebijakan), swasta (investasi), dan internasional (aid seperti EU’s Global Gateway EUR 300 miliar untuk Afrika). Salah satu faktor yang dapat membantu individu untuk bersaing di pasar kerja global adalah kemampuan bahasa, terutama bahasa Inggris—bahasa resmi 60+ negara dan medium komunikasi 1,5 miliar orang (British Council 2025). Banyak perusahaan multinasional (MNC) dan institusi pendidikan internasional mensyaratkan sertifikasi bahasa seperti TOEFL (untuk US/Canada), IELTS (UK/Australia), GMAT (business school), dan GRE (graduate programs) sebagai kualifikasi tambahan bagi para kandidat, karena 75% low-skilled jobs terdampak automation tapi bilingual skills tingkatkan employability 30% (EF EPI 2025). Untuk membantu meningkatkan kompetensi ini, Ultimate Education menyediakan berbagai program kursus dan bimbingan terbaik untuk SAT (target 1400+ untuk Ivy League), IELTS (7.0+ band 8 writing untuk UK visa), TOEFL iBT (100+ speaking 26 untuk US F-1), TOEFL ITP (600+ untuk TOEFL bridge), GMAT (700+ untuk MBA top), GRE (320+ verbal untuk PhD IR), ACT (32+ untuk Midwest unis), dan GED (high school equivalency untuk adult learners)—dengan 2.500+ alumni diterima Harvard, Oxford, NUS. Dengan dukungan tenaga pengajar profesional (native + skor 99th percentile), metode pembelajaran hybrid (offline Jakarta + online rekaman 24/7), 100+ mock test resmi dengan AI feedback, dan garansi skor (refund jika gagal target), Ultimate Education siap membantu kamu untuk mencapai skor terbaik dan membuka peluang karier serta pendidikan di tingkat internasional—dari diplomat Kemlu hingga analyst World Bank. Jangan biarkan keterbatasan bahasa menjadi penghalangmu dalam mencapai kesuksesan! Segera daftarkan diri di Ultimate Education via WhatsApp untuk konsultasi GRATIS + free trial class, dan raih masa depan yang lebih cerah di tengah tantangan pengangguran global!3. Palestina (24%)
4. Georgia (18,6%)
5. Bosnia dan Herzegovina (15,3%)
6. Makedonia Utara (14,1%)
7. Armenia (14%)
8. Maroko (11,7%)
9. Spanyol (11,3%)
10. Albania (11%)
Dampak Pengangguran terhadap Masyarakat dan Perekonomian
Solusi untuk Mengatasi Pengangguran
Program pelatihan vokasi yang lebih relevan dengan kebutuhan industri harus diperkuat untuk mengurangi kesenjangan antara keterampilan tenaga kerja dan permintaan pasar—contoh: Germany’s Dual System (apprenticeship) ciptakan 500.000 jobs/tahun. Investasi USD 1 miliar di TVET bisa turunkan youth unemployment 10% (ILO 2025).
Kebijakan ekonomi yang mendukung iklim investasi harus diterapkan untuk meningkatkan jumlah perusahaan yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar—seperti Special Economic Zones di Maroko (ciptakan 200.000 jobs sejak 2015). FDI naik 20% bisa kurangi unemployment 1,5% (UNCTAD).
Negara-negara ini perlu berinvestasi dalam sektor industri kreatif, teknologi, dan digital untuk membuka lebih banyak peluang kerja bagi generasi muda—contoh: Estonia’s e-residency ciptakan 10.000 digital jobs. AI/green tech bisa ciptakan 1,5 miliar jobs global by 2030 (WEF).
Regulasi yang lebih fleksibel dan mendukung pertumbuhan usaha kecil dan menengah (UKM) dapat membantu menciptakan lebih banyak lapangan kerja—seperti Denmark’s flexicurity model (fleksibel hire/fire + strong safety net) turunkan unemployment ke 5%. UKM ciptakan 70% jobs di emerging markets (IFC).
Ketergantungan pada sektor-sektor tradisional harus dikurangi dengan mengembangkan sektor-sektor baru yang lebih menjanjikan, seperti energi terbarukan dan pariwisata digital—contoh: UAE’s Vision 2031 diversifikasi dari oil ke tourism ciptakan 1 juta jobs. Green transition bisa turunkan unemployment 2% di MENA (IRENA).
Universal Basic Income (UBI) atau cash transfers targeted seperti Brazil’s Bolsa Família (cover 14 juta keluarga, turunkan poverty 15%) untuk jembatan sementara sambil bangun skills.Pentingnya Keterampilan Bahasa dalam Meningkatkan Peluang Kerja
