Culture Shock yang Dialami Orang Indonesia saat di Korea Selatan

Korea Selatan telah menjadi salah satu destinasi paling populer bagi orang Indonesia, baik untuk tujuan wisata, pendidikan, maupun pekerjaan.
Budaya pop Korea, teknologi maju, serta gaya hidup urban yang dinamis menjadikan negeri ginseng ini sangat menarik. Namun, tinggal di negara lain tidak selalu semudah yang dibayangkan.
Perbedaan budaya, kebiasaan, hingga pola makan sering kali memicu culture shock, yakni kondisi di mana seseorang merasa bingung, kaget, atau masih belum nyaman akibat perbedaan budaya yang sangat kontras.
Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa hal yang sering menjadi sumber culture shock bagi orang Indonesia yang tinggal atau baru saja mengunjungi Korea Selatan. Meskipun terlihat sepele, hal-hal ini cukup membuat banyak orang kaget dan butuh waktu untuk beradaptasi.
Baca juga: Ingin Lolos Ausbildung di Jerman? Hindari 5 Kesalahan Fatal Ini!
1. Makanan dan Lauk Pauk (Bukan Nasi, Tapi Selalu Ada Kimchi di Saat Makan)
Salah satu culture shock paling umum yang dialami orang Indonesia di Korea adalah soal makanan. Orang Indonesia sangat terbiasa dengan konsep “makan harus ada nasi dan lauk”.
Di mana pun kita makan, kombinasi ini hampir selalu ada. Namun, di Korea, pola makan mereka sangat berbeda. Meskipun Korea juga mengenal nasi (bap), namun mereka tidak terlalu menekankan pada lauk pauk berprotein seperti ayam, ikan, atau daging dalam porsi besar.
Yang mengejutkan bagi banyak orang Indonesia adalah kehadiran kimchi. Yaitu fermentasi sawi pedas yang selalu ada hampir di setiap hidangan, bahkan pada sarapan sekalipun.
Selain kimchi, ada banyak jenis banchan (hidangan pendamping kecil) yang disajikan bersamaan, seperti acar, sayur rebus, atau potongan telur dadar.
Satu lagi yang sering membingungkan adalah porsi utama yang biasanya hanya satu jenis makanan, misalnya sup tahu pedas (soondubu jjigae) atau daging panggang.
Lauknya bukan beragam, melainkan pelengkap kecil-kecil yang kadang terasa “tidak mengenyangkan” menurut standar orang Indonesia. Hal ini bisa membuat kita merasa “seperti belum makan“, meski sudah menyantap makanan dalam jumlah yang cukup banyak.
2. Sabun Batang di Toilet Umum (Tidak Ada Sabun Cair)
Saat pertama kali menggunakan toilet umum di Korea, banyak orang Indonesia akan mengalami kebingungan saat menyadari bahwa sabun cuci tangan tidak tersedia dalam bentuk cair atau foam.
Di banyak toilet umum, terutama di tempat-tempat yang lebih tradisional atau murah, sabun batang masih menjadi pilihan utama.
Sabun batang biasanya diletakkan menempel di batang logam yang bisa diputar. Hal ini membuat banyak orang merasa kurang higienis karena sabun tersebut dipakai bersama oleh banyak orang.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan sabun cair dan hand sanitizer pribadi, pengalaman ini bisa terasa sangat tidak nyaman.
Namun, jika sudah terbiasa dan memahami konteks kebersihan di Korea yang cukup tinggi, penggunaan sabun batang ini bisa dimaklumi.
Meski begitu, tetap banyak warga asing termasuk orang Indonesia, yang memilih membawa sabun cair atau tisu basah sendiri setiap kali bepergian.
Baca juga: Deretan Negara yang Ternyata Mempelajari Bahasa Indonesia
3. Satu Orang Harus Pesan Satu Menu (Tidak Bisa “Patungan” Seperti di Indonesia)
Salah satu budaya makan yang cukup mengejutkan adalah kebiasaan di restoran Korea yang mengharuskan setiap orang memesan satu porsi makanan masing-masing.
Jika di Indonesia kita terbiasa dengan sistem berbagi, seperti memesan beberapa menu untuk disantap bersama-sama, atau satu porsi dibagi dua, hal ini dianggap tidak sopan atau bahkan melanggar aturan di beberapa restoran Korea.
Bahkan di tempat seperti kafe atau restoran cepat saji, jika kamu datang berdua, pelayan bisa saja menegur atau menolak jika hanya satu orang yang memesan makanan atau minuman.
Budaya ini berakar pada penghargaan terhadap usaha bisnis dan etika konsumen. Dianggap tidak pantas datang ke restoran hanya untuk “numpang duduk” tanpa memesan.
Bagi orang Indonesia, aturan ini bisa membuat canggung dan merasa “tidak enak“. Namun, seiring waktu, kita akan mulai memahami bahwa ini adalah bentuk penghargaan terhadap usaha pemilik restoran dan bagian dari etika sosial di sana.
4. Harga Buah yang Sangat Mahal (Jeruk Bisa Sebanding dengan Daging)
Bagi banyak orang Indonesia yang terbiasa dengan buah-buahan murah dan segar sepanjang tahun, harga buah di Korea bisa menjadi salah satu culture shock terbesar.
Di Indonesia, kita bisa membeli satu kilogram jeruk dengan harga sangat terjangkau. Di Korea, harga satu buah jeruk bisa mencapai 2.000 hingga 3.000 won (sekitar 20.000 hingga 40.000 rupiah), tergantung musim.
Buah-buahan bukan makanan sehari-hari seperti di Indonesia. Di Korea, buah lebih sering dikonsumsi sebagai makanan penutup spesial, hadiah, atau pada momen perayaan tertentu.
Bahkan dalam budaya Korea, memberikan buah dalam bentuk gift set adalah bentuk penghormatan yang tinggi. Wajar jika harga buah melon atau apel premium bisa mencapai ratusan ribu rupiah per buahnya.
Tak heran jika banyak orang Indonesia di Korea merasa rindu dengan pasar tradisional tanah air yang menjual buah-buahan segar dengan harga miring.
Hal ini sering menjadi cerita nostalgia tersendiri bagi pelajar atau pekerja asal Indonesia yang tinggal di Korea dalam waktu lama.
Adaptasi dan Pembelajaran dari Culture Shock di Korea
Culture shock memang bukan pengalaman yang menyenangkan pada awalnya. Namun, jika dihadapi dengan sikap terbuka dan rasa ingin tahu, pengalaman ini bisa menjadi pelajaran yang berharga.
Justru dari perbedaan-perbedaan inilah, kita belajar untuk lebih memahami, menghargai, dan menyesuaikan diri dengan budaya baru.
Baca juga: 5 Gedung Asrama Mahasiswa dengan Arsitektur Terindah di Dunia!
Tinggal di Korea bisa menjadi kesempatan luar biasa untuk mengembangkan diri, belajar budaya baru, dan tentu saja memperluas wawasan global.
Apalagi jika tujuan utama ke Korea adalah untuk belajar atau bekerja, adaptasi budaya adalah kunci keberhasilan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dari itu, penting bagi siapa pun yang berencana tinggal di Korea untuk mempersiapkan diri. Bukan hanya dari segi bahasa, tetapi juga dari segi budaya dan kebiasaan sehari-hari.
Mengetahui apa yang mungkin akan dihadapi bisa membantu mengurangi rasa kaget dan membuat proses adaptasi dapat berjalan lebih mulus.
Ingin Kuliah atau Kerja di Korea? Persiapkan Kemampuan Bahasa Sejak Dini
Jika kamu memiliki impian untuk melanjutkan studi atau bekerja di Korea Selatan, maka memahami budaya mereka menjadi bekal penting selain kemampuan bahasa Korea.
Salah satu langkah awal yang bisa kamu ambil adalah mengikuti kursus Bahasa Korea dan bimbingan khusus untuk menghadapi ujian kemampuan bahasa Korea, atau yang dikenal dengan sebutan TOPIK (Test of Proficiency in Korean).
Ultimate Education hadir sebagai solusi terbaik untuk kamu yang ingin mempersiapkan diri secara optimal.
Kami menyediakan program kursus Bahasa Korea dari level dasar hingga mahir, serta bimbingan intensif menghadapi tes TOPIK yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan pelajar, profesional, dan siapa pun yang ingin melanjutkan karier atau pendidikan di Korea.
Didukung oleh pengajar berpengalaman dan metode belajar interaktif, Ultimate Education membantu kamu tidak hanya memahami bahasa, tapi juga mengenal lebih dekat lagi dengan budaya Korea.
Dengan pendekatan menyeluruh, kamu akan lebih siap menghadapi kehidupan di Korea dengan lebih percaya diri.
Jangan tunggu sampai culture shock membuatmu kewalahan. Persiapkan diri bersama Ultimate Education, dan wujudkan mimpimu ke Korea dengan langkah yang pasti.