Back

Hal-Hal yang Selalunya Dianggap Aneh oleh Orang Prancis

aneh oleh orang Prancis

Setiap negara memiliki budaya, kebiasaan, dan norma sosial yang unik serta berbeda-beda. Apa yang dianggap biasa dan wajar di satu negara bisa jadi tampak sangat aneh, membingungkan, bahkan tidak masuk akal di mata orang dari negara lain. Perbedaan ini bukan hanya soal selera atau kebiasaan sehari-hari, melainkan mencerminkan cara pandang dunia, sistem kepercayaan, nilai-nilai sosial, dan sejarah budaya yang telah terbentuk selama ratusan tahun. Memahami perbedaan ini bukan hanya menarik secara intelektual, tetapi juga sangat penting di era globalisasi saat ini, di mana interaksi antarbudaya terjadi setiap hari — baik dalam pendidikan, bisnis, pariwisata, maupun hubungan pribadi.

Salah satu contoh menarik yang sering menjadi bahan pembicaraan adalah bagaimana beberapa kebiasaan sehari-hari orang Indonesia bisa terlihat ganjil, bahkan mengkhawatirkan, di mata orang Prancis. Prancis, sebagai salah satu pusat budaya Eropa dengan tradisi intelektual dan medis yang kuat, sering kali memiliki perspektif yang sangat berbeda dalam memandang kesehatan, navigasi, dan interaksi sosial. Ketiga hal ini — kerokan, penunjukan arah mata angin, dan kebiasaan meminta foto dengan orang asing — menjadi contoh nyata bagaimana dua budaya bisa “bertabrakan” secara lucu sekaligus mendalam.

Dalam artikel komprehensif ini, kita akan membahas secara mendalam ketiga kebiasaan tersebut dari sudut pandang antropologi budaya, psikologi sosial, dan komunikasi lintas budaya. Kami juga akan memberikan tips praktis bagi Anda yang berencana tinggal di Prancis, bekerja dengan orang Prancis, atau sekadar ingin memahami lebih dalam tentang dinamika budaya global. Dengan pemahaman yang lebih baik, Anda tidak hanya bisa menghindari kesalahpahaman, tetapi juga membangun hubungan yang lebih harmonis dan saling menghargai.

Baca juga: 5 Negara Ini Tawarkan Beasiswa dan Visa Kerja yang Cukup Mudah

1. Kerokan (Tradisi Pengobatan Tradisional yang Membingungkan)

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, Bali, dan beberapa daerah lain di Nusantara, kerokan bukan sekadar pengobatan rumahan — melainkan warisan budaya turun-temurun yang telah dilakukan selama berabad-abad. Teknik ini melibatkan penggosokan kulit punggung, leher, atau bagian tubuh lain menggunakan koin, sendok, atau alat khusus yang dilumuri minyak kayu putih, balsem, atau minyak angin. Prosesnya sederhana, namun hasilnya — garis-garis merah keunguan yang menyerupai memar — sering kali menjadi sumber kebingungan bagi orang asing, termasuk orang Prancis.

Dalam pandangan medis tradisional Indonesia, kerokan dipercaya dapat mengeluarkan “angin” yang terperangkap di dalam tubuh — penyebab utama dari gejala seperti pusing, pegal-pegal, masuk angin, demam ringan, atau kelelahan. Konsep “angin” ini bukanlah angin secara harfiah, melainkan representasi dari ketidakseimbangan energi dalam tubuh, mirip dengan konsep qi dalam pengobatan Tiongkok atau prana dalam tradisi India. Setelah dikerok, pasien biasanya merasa lebih lega, hangat, dan segar — efek psikologis dan fisiologis yang sulit dijelaskan secara ilmiah Barat, tetapi terbukti efektif secara empiris bagi jutaan orang Indonesia.

Namun, bagi orang Prancis yang dibesarkan dalam budaya medis modern berbasis bukti ilmiah, kerokan sering kali disalahartikan sebagai tanda kekerasan fisik, penganiayaan, atau bahkan penyiksaan. Beberapa ekspatriat Prancis yang tinggal di Indonesia pernah melaporkan perasaan panik saat pertama kali melihat rekan kerja atau tetangga dengan punggung penuh bekas merah — mereka langsung mengira itu adalah korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Bahkan, ada kasus di mana turis Prancis menghubungi polisi karena khawatir melihat anak kecil “dikerok” oleh orang tuanya.

Perbedaan persepsi ini tidak hanya soal penampilan fisik, tetapi juga mencerminkan perbedaan mendasar dalam filosofi kesehatan. Di Prancis, pengobatan harus didasarkan pada diagnosis dokter, resep obat, atau terapi yang telah terbukti secara klinis. Pengobatan alternatif seperti akupunktur atau homeopati memang ada, tetapi tetap diatur ketat dan tidak sepopuler kerokan di Indonesia. Sementara itu, kerokan di Indonesia dilakukan secara mandiri di rumah, tanpa resep, dan dianggap sebagai bentuk self-care yang alami dan murah.

Dari sudut pandang antropologi, kerokan adalah contoh nyata dari etnomedisin — sistem pengobatan yang berakar pada pengetahuan lokal dan kepercayaan kosmologis. Konsep keseimbangan panas-dingin, angin, dan energi dalam tubuh adalah bagian dari warisan budaya Melayu-Polinesia yang masih hidup hingga kini. Bagi orang Prancis yang ingin memahami Indonesia lebih dalam, mempelajari kerokan bisa menjadi pintu masuk untuk mengerti cara masyarakat lokal memandang tubuh, alam, dan kesehatan secara holistik.

2. Arah Mata Angin (Navigasi yang Membingungkan)

Di Indonesia, khususnya di Jawa, Bali, dan beberapa daerah lain, mata angin bukan hanya alat navigasi — melainkan bagian dari bahasa, budaya, dan bahkan kosmologi sehari-hari. Kita dengan santai berkata, “Rumah saya di sebelah utara sekolah,” atau “Toko buku ada di timur pasar,” tanpa perlu peta atau kompas. Bagi orang Indonesia, ini adalah cara yang efisien, alami, dan telah tertanam sejak kecil melalui pengamatan matahari, gunung, laut, dan angin musiman.

Namun, bagi orang Prancis — dan banyak orang Eropa lainnya — sistem ini terasa abstrak, tidak praktis, dan membingungkan. Di Prancis, navigasi didasarkan pada struktur kota yang terencana: nama jalan, nomor rumah, petunjuk relatif (kiri, kanan, lurus), dan aplikasi GPS. Kota-kota seperti Paris, Lyon, atau Marseille memiliki tata letak jalan yang sistematis, sering kali berbentuk grid atau radial, sehingga penunjuk arah absolut seperti “barat” atau “selatan” jarang digunakan kecuali dalam konteks geografi formal.

Bayangkan seorang turis Prancis yang baru tiba di Yogyakarta dan diberi petunjuk: “Dari Malioboro, belok ke selatan, lalu ke barat di pertigaan besar.” Tanpa mengetahui arah mata angin secara pasti, mereka akan kebingungan total. Bahkan dengan ponsel, mereka lebih terbiasa mencari “à gauche” (ke kiri) atau “tout droit” (lurus) daripada “vers le sud” (ke selatan). Perbedaan ini menjadi lebih terasa di pedesaan Indonesia, di mana papan nama jalan sering tidak ada, dan mata angin menjadi satu-satunya acuan yang reliable.

Baca juga: Program Garuda ACE 2.0 Diperpanjang – Daftar Sekarang!

Dari perspektif budaya, penggunaan mata angin di Indonesia terkait erat dengan orientasi kosmologis. Dalam tradisi Jawa, misalnya, arah selatan sering dikaitkan dengan Laut Kidul dan kekuatan spiritual, sementara utara dihubungkan dengan Gunung Merapi. Arah timur adalah arah matahari terbit — simbol kehidupan baru. Sistem ini bukan hanya praktis, tetapi juga penuh makna filosofis dan spiritual. Sementara itu, di Prancis, orientasi lebih bersifat fungsional dan sekuler, didorong oleh kebutuhan urban dan efisiensi modern.

Bagi Anda yang akan berinteraksi dengan orang Prancis di Indonesia, gunakan kombinasi petunjuk: “Ke selatan (atau ke arah laut), lalu belok kiri di lampu merah.” Ini akan jauh lebih membantu daripada hanya mengandalkan mata angin. Sebaliknya, saat berada di Prancis, biasakan diri dengan aplikasi seperti Citymapper atau Google Maps — karena di sana, “rue” dan “numéro” adalah raja.

3. Minta Foto ke Strangers (Budaya Ramah Tapi Membingungkan)

Di Indonesia, meminta foto bersama turis asing — terutama yang berkulit putih atau “bule” — adalah fenomena budaya yang sudah sangat umum, terutama di destinasi wisata seperti Bali, Yogyakarta, atau Lombok. Bagi orang Indonesia, ini adalah ekspresi kegembiraan, rasa ingin tahu, dan kebanggaan bisa bertemu orang dari belahan dunia lain. Anak-anak berlarian mendekat, remaja tersipu malu sambil memegang ponsel, dan bahkan orang tua ikut tersenyum lebar saat berpose. Bagi mereka, foto itu adalah kenang-kenangan berharga yang akan diceritakan ke keluarga atau dipamerkan di media sosial.

Namun, bagi orang Prancis, kebiasaan ini sering kali menimbulkan ketidaknyamanan, kebingungan, hingga rasa terganggu. Di Prancis, privasi pribadi adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi. Mengambil foto seseorang tanpa izin yang jelas — apalagi orang asing — bisa dianggap sebagai pelanggaran etika, bahkan hukum (terutama jika melibatkan anak-anak). Orang Prancis terbiasa dengan batasan sosial yang tegas: Anda tidak mendekati orang asing di jalan hanya untuk meminta foto, kecuali dalam acara resmi atau festival.

Banyak turis Prancis di Bali melaporkan merasa “dikejar” oleh permintaan foto berulang-ulang. Mereka tersenyum sopan di awal, tetapi setelah beberapa kali, mulai merasa lelah atau was-was: “Apakah saya sedang dijadikan objek wisata? Apakah foto ini akan digunakan untuk hal yang tidak saya inginkan?” Beberapa bahkan memilih memakai topi, kacamata hitam, atau berjalan cepat untuk menghindari perhatian. Padahal, niat orang Indonesia murni ramah dan antusias — bukan eksploitasi.

Fenomena ini adalah contoh klasik dari hospitality vs. personal space. Di Indonesia, keramahan diwujudkan melalui kedekatan fisik dan interaksi spontan. Di Prancis, keramahan lebih terukur: senyuman, bonjour, dan percakapan sopan — tetapi tanpa sentuhan atau permintaan yang terlalu personal. Memahami perbedaan ini sangat penting bagi siapa saja yang ingin membangun hubungan lintas budaya yang sehat.

Mengapa Memahami Perbedaan Ini Penting?

Memahami hal-hal yang dianggap “aneh” oleh budaya lain bukan hanya soal toleransi — melainkan kunci untuk membangun empati, komunikasi efektif, dan hubungan yang berkelanjutan. Di era globalisasi, Anda mungkin akan:

  • Bekerja dengan tim internasional yang dipimpin orang Prancis
  • Kuliah di Prancis melalui program beasiswa
  • Menjadi tour guide bagi wisatawan Eropa
  • Atau bahkan menikah dengan pasangan dari Prancis

Dalam semua situasi tersebut, kesalahpahaman budaya bisa berakibat fatal: dari kegagalan negosiasi bisnis hingga rusaknya hubungan pribadi. Namun, dengan pemahaman yang baik, perbedaan justru menjadi jembatan — bukan tembok. Anda bisa menjelaskan kerokan dengan analogi akupunktur, memberikan petunjuk arah dengan kombinasi mata angin dan landmark, atau mengajak turis Prancis berfoto dengan sopan dan penuh hormat.

Baca juga: Cara Daftar Program Yonsei International Summer School (YISS)

Ingin Memahami Budaya dan Bahasa Prancis Lebih Dalam?

Cara paling efektif untuk memahami budaya Prancis bukan hanya dengan membaca artikel atau menonton film — melainkan dengan menguasai bahasa Prancis. Bahasa adalah cermin jiwa suatu bangsa. Dengan berbicara bahasa Prancis, Anda akan:

  • Memahami mengapa orang Prancis sangat menghargai politesse (kesopanan)
  • Mengerti konteks di balik ekspresi seperti c’est pas grave atau ça va?
  • Dapat membaca berita, novel, atau puisi Prancis dalam bahasa aslinya
  • Dan berinteraksi secara alami dengan penduduk lokal saat berada di Prancis

Selain itu, sertifikasi resmi seperti DELF/DALF sangat dihargai di dunia akademik dan profesional Prancis. Skor DELF B2 atau DALF C1 sering menjadi syarat wajib untuk beasiswa, kuliah, atau visa kerja di Prancis.

Rekomendasi Terbaik untuk Belajar Bahasa Prancis

Ultimate Education adalah lembaga kursus bahasa Prancis terkemuka di Indonesia yang fokus pada persiapan DELF/DALF dan pengayaan budaya. Dengan pengalaman lebih dari 10 tahun, kami telah membantu ribuan siswa meraih mimpi mereka ke Prancis — baik untuk studi, kerja, maupun kehidupan pribadi.

Mengapa memilih Ultimate Education?

  • Pengajar Native & Bersertifikat: Diajar langsung oleh penutur asli dan guru berpengalaman dengan sertifikasi DELF Examiner
  • Kurikulum CEFR: Sesuai standar Eropa, dari A1 hingga C2
  • Simulasi Ujian Realistis: Latihan intensif listening, reading, writing, speaking dengan format resmi DELF
  • Materi Budaya Terintegrasi: Pelajari etika makan, salam, dan norma sosial Prancis sejak hari pertama
  • Kelas Fleksibel: Online via Zoom atau offline di Jakarta, Bandung, Surabaya
  • Garansi Hasil: Uang kembali jika tidak lulus DELF sesuai target
  • Komunitas Alumni: Bergabung dengan grup ekspatriat dan penerima beasiswa Prancis

Dengan mengikuti program di Ultimate Education, Anda tidak hanya belajar bahasa — tetapi juga bertransformasi menjadi warga global yang paham budaya. Anda akan tahu kapan harus mengatakan tu atau vous, bagaimana menolak permintaan foto dengan sopan, atau menjelaskan kerokan kepada teman Prancis tanpa membuat mereka panik.

Perbedaan budaya adalah anugerah — bukan hambatan. Kebiasaan seperti kerokan, mata angin, dan meminta foto adalah cerminan dari keragaman manusia yang indah. Dengan saling memahami, kita bisa menciptakan dunia yang lebih toleran, inklusif, dan penuh empati.

Siap memulai perjalanan bahasa dan budaya Prancis Anda? Daftar sekarang di Ultimate Education dan jadilah bagian dari generasi pembelajar global yang siap menghadapi dunia!