
Setiap negara memiliki karakteristik sosial dan budaya yang berbeda-beda. Hal yang dianggap sopan, umum, atau bahkan istimewa di satu negara, bisa jadi tidak mendapatkan perlakuan yang sama di negara lain. Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan sejarah, nilai-nilai masyarakat, dan sistem pemerintahan, tetapi juga bagaimana suatu bangsa memandang kenyamanan, keselamatan, dan kualitas hidup warganya. Dalam konteks ini, Prancis dan Indonesia menawarkan dua kutub yang menarik untuk dibandingkan — satu mewakili negara maju Eropa dengan tradisi perencanaan kota yang panjang, sementara yang lain adalah negara berkembang dengan dinamika sosial yang kompleks dan cepat berubah.
Begitu pula ketika kita membandingkan dua negara yang sangat berbeda latar belakang budayanya seperti Prancis dan Indonesia. Prancis, dengan warisan Renaisans, Revolusi Prancis, dan tradisi humanisme yang kuat, menempatkan individu dan ruang publik sebagai pusat kehidupan sosial. Sementara Indonesia, dengan keragaman etnis lebih dari 1.300 suku, tradisi gotong royong, dan urbanisasi yang masif dalam 30 tahun terakhir, masih terus mencari keseimbangan antara pembangunan, pelestarian, dan kenyamanan warga.
Meskipun sama-sama memiliki keunikan dan daya tarik masing-masing, ada beberapa hal yang terasa lebih “ramah” atau lebih dihargai di Prancis daripada di Indonesia. Bukan berarti Indonesia tidak memiliki potensi — justru sebaliknya. Banyak kota di Indonesia seperti Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya mulai menunjukkan perbaikan signifikan dalam hal infrastruktur dan ruang publik. Namun, Prancis telah menjadikan aspek-aspek ini sebagai standar nasional selama puluhan tahun, didukung oleh regulasi yang ketat, anggaran publik yang besar, dan kesadaran kolektif yang tinggi.
Bagi mereka yang pernah tinggal atau sekadar berlibur ke Prancis, mungkin akan menyadari bahwa beberapa aspek kehidupan sehari-hari di sana terasa lebih tertata, lebih inklusif, dan memberikan ruang lebih luas kepada individu untuk menikmati kehidupan sosial secara lebih nyaman. Mulai dari cara pejalan kaki diperlakukan seperti “raja di jalanan”, hingga bagaimana taman kota menjadi pusat interaksi sosial lintas generasi, semuanya dirancang dengan satu tujuan: meningkatkan kualitas hidup tanpa memandang status sosial.
Dalam artikel ini, kita akan membahas tiga aspek utama yang menunjukkan perbedaan tersebut, yaitu perlakuan terhadap pejalan kaki, pengelolaan ruang publik, dan pendekatan terhadap sektor wisata. Ketiga elemen ini bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga mencerminkan filosofi masyarakat: apakah kota dibangun untuk mobil, atau untuk manusia?
Baca juga: Memilih Kampus Terbaik Luar Negeri Berdasarkan Ekstrakurikuler
1. Pejalan Kaki (Raja di Jalanan Prancis)
Di banyak kota besar maupun kecil di Prancis, pejalan kaki diperlakukan dengan sangat hormat. Hal ini bukan sekadar slogan, tetapi kebijakan nasional yang diimplementasikan sejak era pasca-Perang Dunia II, ketika Prancis mulai merancang ulang kota-kotanya dengan prinsip “ville pour tous” (kota untuk semua). Pejalan kaki bukan hanya pengguna jalan, tetapi prioritas utama dalam perencanaan transportasi perkotaan.
Tidak hanya karena kebijakan pemerintah yang pro-walking, tapi juga karena kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap pentingnya keselamatan dan kenyamanan para pengguna jalan kaki. Di Prancis, berjalan kaki bukan hanya moda transportasi, tetapi juga gaya hidup. Menurut data INSEE (Institut national de la statistique et des études économiques), rata-rata warga Prancis berjalan 7.000 langkah per hari — jauh di atas rata-rata global — dan ini didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Jalur Khusus dan Infrastruktur Pendukung
Di hampir setiap sudut kota, baik di Paris, Lyon, Marseille, maupun kota-kota kecil seperti Annecy atau Colmar, pejalan kaki dimanjakan dengan trotoar yang lebar (minimal 2,5 meter sesuai standar nasional), bersih, dan bebas dari motor yang parkir sembarangan. Banyak trotoar dilengkapi dengan jalur tactile paving untuk tuna netra, ramp untuk kursi roda, dan permukaan anti-selip yang aman saat hujan.
Tidak jarang pula kita temukan jalanan khusus pejalan kaki (pedestrian-only streets) yang tertata rapi dan aman, dilengkapi lampu penerangan LED hemat energi, rambu-rambu penyeberangan yang jelas, dan tombol prioritas pejalan kaki di lampu lalu lintas. Di Paris, misalnya, lebih dari 200 km jalan telah diubah menjadi zona pejalan kaki sejak 2014 melalui program “Paris Respire”. Di Strasbourg, kota ini bahkan mendapat penghargaan European Green Capital karena 60% perjalanan warganya dilakukan dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Lebih dari itu, pejalan kaki di Prancis memiliki hak istimewa saat menyeberang. Begitu kaki mereka menginjakkan di zebra cross, kendaraan secara otomatis akan berhenti — bahkan sebelum lampu hijau menyala. Ini diatur dalam Code de la Route Prancis Pasal R412-6, yang menyatakan bahwa pengemudi wajib memberikan prioritas mutlak kepada pejalan kaki di penyeberangan. Pelanggaran bisa dikenai denda hingga €135 dan pengurangan 6 poin SIM.
Hal ini merupakan bagian dari hukum lalu lintas dan budaya hormat-menghormati yang dijaga dengan ketat. Di banyak kota, polisi lalu lintas secara rutin melakukan razia untuk memastikan kepatuhan, dan masyarakat sendiri saling mengingatkan. Hasilnya? Tingkat kecelakaan pejalan kaki di Prancis hanya 0,4 per 100.000 penduduk — jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata global 3,0 menurut WHO.
Dibandingkan dengan Indonesia
Di Indonesia, nasib pejalan kaki masih sering terabaikan. Banyak trotoar dipenuhi oleh pedagang kaki lima, parkir motor, atau bahkan tidak tersedia sama sekali. Di Jakarta, misalnya, hanya 38% trotoar yang layak digunakan menurut studi ITDP Indonesia 2023. Banyak yang rusak, terputus, atau dikuasai oleh kepentingan komersial.
Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Bandung, upaya perbaikan sudah mulai terlihat. Program “Jakarta Walk” sejak 2021 telah membangun 63 km jalur pejalan kaki baru di kawasan Sudirman-Thamrin. Bandung juga memiliki “Asia Afrika Pedestrian Zone” yang cukup sukses. Namun, kesadaran pengguna jalan dan penegakan hukum masih menjadi tantangan besar. Menurut data Korlantas Polri, 70% kecelakaan pejalan kaki terjadi karena pengemudi tidak memberikan prioritas di zebra cross.
Tidak jarang kita melihat pejalan kaki harus “berebut ruang” dengan kendaraan bermotor. Atau bahkan harus berjalan di tepi jalan raya karena trotoar tidak memadai. Di banyak daerah, pejalan kaki juga rentan terhadap pencopetan, genangan air saat hujan, atau polusi udara tinggi. Meski demikian, inisiatif seperti “Car Free Day” di Jakarta dan Surabaya menunjukkan bahwa perubahan mungkin terjadi jika ada kemauan politik dan partisipasi masyarakat.
2. Ruang Publik (Tempat Berkumpul yang Nyaman dan Inklusif)
Salah satu hal yang sangat mencolok ketika berada di Prancis adalah betapa terawat dan fungsionalnya ruang-ruang publik. Konsep “espace public” di Prancis bukan sekadar lahan kosong, tetapi ruang demokrasi — tempat warga dari berbagai latar belakang bisa bertemu, berdiskusi, dan menikmati kehidupan tanpa tekanan komersial. Ini adalah warisan dari filsafat Pencerahan dan tradisi café society Prancis.
Mulai dari taman kota, alun-alun, hingga bangku-bangku di pinggir jalan, semuanya dirancang untuk mengundang orang datang, duduk, berbincang, atau sekadar menikmati udara segar. Menurut data Mairie de Paris, ibu kota Prancis memiliki 500 taman dan kebun dengan total luas 1.200 hektar — atau 12 m² ruang hijau per penduduk, jauh di atas rekomendasi WHO (9 m²).
Fasilitas yang Layak untuk Semua Usia
Taman-taman kota seperti Jardin du Luxembourg di Paris atau Parc de la Tête d’Or di Lyon bukan hanya sekadar ruang hijau, melainkan pusat kehidupan sosial masyarakat. Taman ini dilengkapi dengan kolam, patung, jalur lari, area piknik, dan bahkan perpustakaan terbuka. Anak-anak bisa bermain di taman bermain bertema (kapal bajak laut, kastil, dll), lansia berjalan santai di jalur khusus, dan pekerja makan siang di bangku-bangku taman.
Di sana, anak-anak bermain di taman bermain yang aman, lansia berjalan santai menikmati suasana, sementara para pekerja makan siang sambil bersantai di bangku-bangku taman. Bahkan, banyak taman yang menyediakan akses bagi penyandang disabilitas (ramp, toilet khusus), area bermain edukatif (papan informasi flora-fauna), toilet umum yang bersih dan gratis, serta tempat sampah yang tersebar merata untuk menjaga kebersihan. Di Lyon, misalnya, 95% taman memiliki air mancur minum gratis — fasilitas yang jarang ditemukan di Indonesia.
Baca juga: LOA vs Beasiswa! Manakah yang Harus Didahulukan?
Minim Komersialisasi
Salah satu hal menarik dari ruang publik di Prancis adalah minimnya komersialisasi. Anda tidak akan menemukan banyak spanduk iklan, warung kaki lima, atau kendaraan pribadi yang merusak pemandangan. Iklan di ruang publik diatur ketat oleh Code de l’Environnement, dan warung hanya boleh beroperasi di zona tertentu dengan izin khusus. Fokusnya adalah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berinteraksi tanpa harus mengeluarkan uang — prinsip yang dikenal sebagai “droit à la ville” (hak atas kota).
Di Jardin des Tuileries, misalnya, Anda bisa duduk berjam-jam tanpa ada yang mengusir atau meminta membeli sesuatu. Ini berbeda dengan banyak taman di Indonesia yang sering kali dikelola swasta dan dipenuhi tenant makanan atau wahana berbayar.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di Indonesia, konsep ruang publik seringkali masih dicampuradukkan dengan ruang komersial. Banyak alun-alun atau taman kota yang pada akhirnya berubah fungsi menjadi tempat berjualan, parkir liar, atau bahkan tempat tinggal semi-permanen bagi kelompok tertentu. Contohnya, Alun-Alun Kidul Yogyakarta yang kini lebih dikenal sebagai tempat kuliner malam hari ketimbang ruang terbuka hijau.
Kebersihan, kenyamanan, dan keamanan menjadi isu utama. Namun, beberapa kota mulai menunjukkan perkembangan positif. Surabaya memiliki Taman Bungkul yang mendapat penghargaan Asian Townscape Award 2013. Semarang punya Simpang Lima yang kini lebih tertata. Makassar memiliki Losari Beach yang direvitalisasi menjadi ruang publik berkelas. Inisiatif ini menunjukkan bahwa perubahan mungkin terjadi jika ada komitmen jangka panjang.
3. Wisata (Antara Pelestarian dan Komersialisasi)
Prancis adalah negara yang sangat serius dalam mengelola sektor pariwisatanya. Dengan 90 juta kunjungan wisatawan per tahun (data sebelum pandemi), Prancis berhasil menyeimbangkan antara aspek komersial, pelestarian budaya, dan kenyamanan pengunjung. Pariwisata menyumbang 8% PDB nasional dan 2 juta lapangan kerja — tetapi tidak dengan mengorbankan warisan budaya.
Edukasi dalam Pariwisata
Setiap destinasi wisata, mulai dari Menara Eiffel, Mont Saint-Michel, hingga desa-desa tua di Provinsi Alsace, dilengkapi dengan pusat informasi, penunjuk arah, dan narasi sejarah yang edukatif. Wisatawan tidak hanya “menikmati” pemandangan, tetapi juga memahami latar belakang budaya, arsitektur, dan nilai-nilai historis dari tempat yang mereka kunjungi.
Selain itu, petunjuk dalam berbagai bahasa—termasuk Inggris, Jerman, Mandarin, dan Arab—menjadi standar di banyak tempat wisata. Di Louvre, misalnya, audio guide tersedia dalam 9 bahasa. Di Versailles, tur virtual 360° bisa diakses gratis. Hal ini menunjukkan inklusivitas dan keseriusan dalam memberikan pengalaman yang bermakna bagi pengunjung dari seluruh dunia.
Pelestarian yang Ketat
Bangunan bersejarah dan kawasan wisata di Prancis dilindungi oleh undang-undang pelestarian warisan budaya (Code du Patrimoine). Tidak sembarang bangunan boleh direnovasi tanpa izin dari DRAC (Direction Régionale des Affaires Culturelles), dan setiap perbaikan harus sesuai dengan karakter asli bangunan tersebut. Di Paris, 35% wilayah kota masuk dalam zona perlindungan warisan UNESCO.
Pemerintah juga membatasi jumlah pengunjung di beberapa situs untuk menjaga kelestarian alam dan warisan budaya. Mont Saint-Michel hanya boleh dikunjungi 6.000 orang per hari. Di Lembah Loire, kastil-kastil hanya buka 8 bulan setahun untuk restorasi. Hasilnya? 80% situs warisan budaya Prancis masih dalam kondisi asli sejak abad ke-18.
Kondisi di Indonesia
Indonesia memiliki kekayaan wisata yang luar biasa, mulai dari alam, budaya, hingga kuliner. Namun sayangnya, dalam beberapa kasus, pendekatan terhadap pariwisata masih terlalu berfokus pada kuantitas, bukan kualitas. Bali, misalnya, menerima 6,3 juta wisatawan pada 2019, tetapi banyak pantai yang tercemar dan infrastruktur yang kewalahan.
Banyak destinasi yang rusak karena over-tourism, pengelolaan yang buruk, atau pembangunan yang tidak berkelanjutan. Contohnya, beberapa kawasan pesisir atau gunung yang dulunya indah kini mengalami degradasi karena sampah wisatawan dan minimnya regulasi. Di Gunung Bromo, misalnya, jumlah kendaraan jeep yang masuk tidak dibatasi, menyebabkan erosi tanah dan polusi udara.
Meski begitu, sudah ada banyak inisiatif positif, terutama dari sektor swasta dan komunitas lokal, untuk membangun pariwisata yang lebih berkelanjutan. Konsep ekowisata di Taman Nasional Komodo, desa wisata di Penglipuran Bali, dan community-based tourism di Wae Rebo menunjukkan bahwa Indonesia bisa bersaing di level global jika ada komitmen bersama.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Dari perbandingan di atas, kita bisa melihat bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari dari cara Prancis memperlakukan pejalan kaki, mengelola ruang publik, dan mengembangkan pariwisata. Namun tentu saja, setiap negara memiliki tantangan dan konteksnya masing-masing. Prancis memiliki PDB per kapita $43.000 dan anggaran publik yang besar, sementara Indonesia masih bergulat dengan urbanisasi dan keterbatasan anggaran.
Baca juga: Beberapa Tahayul yang Masih Sering Dipercayai oleh Orang Prancis
Apa yang membuat Prancis unggul dalam hal-hal tersebut bukan semata-mata karena kekayaan atau kemajuan teknologinya, tetapi karena adanya kesadaran kolektif, regulasi yang jelas, dan komitmen untuk menegakkan aturan secara konsisten. Di Prancis, aturan bukan hanya di atas kertas, tetapi menjadi budaya. Di Indonesia, kita perlu lebih dari sekadar kebijakan — kita butuh edukasi, partisipasi, dan contoh nyata dari pemimpin.
Hal-hal seperti memberi ruang bagi pejalan kaki, menyediakan ruang publik yang layak, serta mengembangkan pariwisata secara berkelanjutan sebenarnya bisa diterapkan di mana pun. Termasuk di Indonesia, asalkan ada kemauan politik, keterlibatan masyarakat, dan edukasi yang berkelanjutan. Kota-kota seperti Singapura dan Tokyo membuktikan bahwa negara Asia pun bisa memiliki standar ruang publik setara Eropa — Indonesia juga bisa.
Ingin Lebih Mengenal Budaya Prancis? Saatnya Belajar Bahasa dan Budayanya Lebih Dalam!
Jika kamu tertarik dengan cara hidup masyarakat Prancis, sistem sosial mereka, atau mungkin punya impian untuk kuliah, bekerja, atau tinggal di Prancis, maka langkah pertama yang bisa kamu ambil adalah belajar bahasa Prancis dan memahami budaya mereka secara menyeluruh. Bahasa Prancis adalah kunci untuk memahami tidak hanya kata-kata, tetapi juga cara berpikir, etika sosial, dan nilai-nilai humanisme yang menjadi dasar masyarakat Prancis.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga jendela untuk memahami cara berpikir dan kebiasaan suatu masyarakat. Dengan menguasai bahasa Prancis, kamu bisa membaca Balzac dalam bahasa aslinya, memahami debat politik di France Inter, atau sekadar memesan croissant dengan aksen yang benar di boulangerie lokal.
Kursus dan Bimbingan DELF Terpercaya
Sebagai langkah awal, Ultimate Education hadir sebagai mitra terbaikmu dalam belajar bahasa Prancis. Kami menyediakan kursus bahasa Prancis berkualitas dengan pengajar profesional dan materi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Baik untuk pemula maupun mereka yang ingin mempersiapkan ujian DELF (Diplôme d’Études en Langue Française).
Program kami mencakup:
- Kelas reguler dan intensif (online/offline)
- Bimbingan persiapan ujian DELF A1 hingga B2 dengan tingkat kelulusan 95%
- Simulasi ujian bulanan dan evaluasi kemajuan
- Materi budaya Prancis yang aplikatif (film, musik, kuliner, etiket)
- Belajar secara online maupun offline di Jakarta, Bandung, dan Surabaya
- Komunitas alumni yang aktif di Prancis dan Eropa
Dengan pendekatan yang menyenangkan dan efektif, kami membantu kamu tidak hanya menguasai bahasa, tetapi juga mendalami budaya Prancis agar kamu lebih siap menghadapi dunia internasional — baik untuk studi, karier, atau sekadar petualangan.
Yuk, mulai perjalanan belajarmu bersama Ultimate Education dan buka lebih banyak peluang global!
Hubungi kami sekarang untuk informasi kelas terbaru dan jadwal pendaftaran.
✨ Bienvenue dans le monde francophone! ✨
