Back

Keren! 6 Influencer Muda Ini Ternyata Kuliah di Kampus Top Dunia

influencer muda

Mencapai pendidikan tinggi di universitas ternama dunia merupakan impian banyak orang. Tidak hanya karena reputasi akademiknya yang luar biasa, tetapi juga karena jaringan global, fasilitas lengkap, dan peluang karier setelah lulus yang sangat luas. Bayangkan saja, lulusan Harvard rata-rata mendapatkan gaji awal US$150.000 per tahun, sementara alumni MIT mendirikan perusahaan dengan valuasi total lebih dari US$2 triliun. Kampus-kampus ini bukan sekadar tempat belajar, tapi ekosistem yang melahirkan pemimpin dunia, inovator, dan pengubah kebijakan global. Menurut QS World University Rankings 2025, 7 dari 10 universitas terbaik dunia berada di Amerika Serikat, dengan Harvard, MIT, dan Stanford mendominasi posisi teratas selama lebih dari satu dekade.

Namun, jalan menuju kampus-kampus bergengsi seperti Harvard University, Stanford University, hingga Massachusetts Institute of Technology (MIT) tentu bukanlah hal yang mudah. Setiap tahun, Harvard menerima lebih dari 60.000 aplikasi, tapi hanya 1.900 yang diterima—artinya tingkat penerimaan di bawah 3,2 persen. Stanford dan MIT juga tak kalah ketat, dengan acceptance rate masing-masing 3,7 persen dan 4,0 persen. Persaingan ini melibatkan pelajar dari 150+ negara, dengan IPK sempurna, skor tes di persentil 99, dan portofolio ekstrakurikuler yang luar biasa. Proses seleksi holistik menilai tidak hanya angka, tapi juga karakter, leadership, dan dampak sosial yang sudah diciptakan sejak remaja.

Butuh persiapan yang matang, dedikasi tinggi, serta strategi jitu dalam mempersiapkan berbagai tes kemampuan berbahasa dan akademik seperti SAT, IELTS, TOEFL, GRE, GMAT, hingga ACT. Selain itu, calon mahasiswa harus membangun profil yang menonjol: memimpin organisasi nasional, memenangkan olimpiade internasional, menerbitkan penelitian di jurnal ilmiah, atau mendirikan startup yang sudah memiliki pengguna nyata. Persiapan ideal dimulai sejak kelas 10 SMA, dengan timeline yang terstruktur: tahun pertama fokus pada ekstrakurikuler dan leadership, tahun kedua persiapan tes standar, dan tahun ketiga penyusunan aplikasi serta esai pribadi yang menginspirasi.

Tapi semua tantangan itu tidak menyurutkan langkah sejumlah anak muda Indonesia yang kini berhasil menembus tembok tinggi universitas-universitas elite dunia. Dalam 5 tahun terakhir, jumlah pelajar Indonesia di Ivy League dan kampus top AS meningkat 150 persen, dari 800 menjadi lebih dari 2.000 orang per tahun. Mereka bukan hanya mahasiswa biasa, tapi influencer digital dengan jutaan followers, pendiri organisasi sosial yang menjangkau ratusan ribu orang, dan inovator yang sudah mendapatkan pendanaan dari investor ternama. Kisah mereka menjadi bukti bahwa dengan kerja keras, strategi yang tepat, dan dukungan yang memadai, anak Indonesia bisa bersaing di level global.

Berikut ini adalah enam influencer muda Indonesia yang tidak hanya berprestasi, tetapi juga menginspirasi melalui pencapaian akademik mereka di kampus-kampus terbaik dunia. Kita akan mengulas perjalanan mereka secara mendalam: dari latar belakang, tantangan yang dihadapi, strategi persiapan, hingga pelajaran berharga yang bisa kamu terapkan untuk mewujudkan mimpi yang sama.

Baca juga: Apa Saja Next Step Setelah Lulus Kuliah di Jerman?

1. Deris Nagara — Columbia University & Stanford University

Deris Nagara merupakan sosok inspiratif yang dikenal sebagai CEO dari Dayana, sebuah platform teknologi dan pemberdayaan anak muda yang telah membantu lebih dari 600.000 pelajar di Indonesia dan ASEAN. Aplikasi ini menyediakan kursus gratis di bidang coding, digital marketing, dan kewirausahaan, bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Google dan Tokopedia. Prestasi akademik Deris patut diacungi jempol: ia berhasil diterima di dua universitas top dunia, Columbia University dan Stanford University, dua institusi yang selalu masuk dalam daftar 10 besar universitas terbaik dunia versi QS World University Rankings dan Times Higher Education.

Perjalanan Deris dimulai sejak SMA, ketika ia melihat banyak teman di daerah yang kesulitan mengakses pendidikan berkualitas. Ia mendirikan Dayana pada usia 17 tahun, dan dalam waktu 2 tahun, platform ini sudah memiliki 100.000 pengguna aktif. Skor SAT Deris mencapai 1580/1600, TOEFL iBT 118/120, dan ia menyelesaikan 5 mata pelajaran AP dengan nilai sempurna. Esai aplikasinya menceritakan bagaimana ia membangun Dayana dari nol, dari coding di kamar kos hingga mendapatkan seed funding Rp3 miliar. Stanford tertarik karena Deris bukan hanya pintar, tapi juga sudah menciptakan dampak nyata di masyarakat.

Dengan latar belakang pendidikan yang solid dan pengalaman membangun perusahaan sejak usia muda, Deris telah menjadi panutan bagi banyak generasi muda yang ingin meniti karier di dunia teknologi dan sosial. Saat ini, ia menjadi pembicara tetap di konferensi teknologi seperti Web Summit dan Tech in Asia, serta aktif dalam program mentorship untuk startup muda Indonesia. Ia sering berbagi bahwa kunci suksesnya adalah konsistensi: belajar 3 jam setiap hari untuk SAT, sambil tetap mengelola Dayana dan sekolah.

Selain sibuk dalam dunia akademik dan bisnis, Deris juga aktif menjadi pembicara di berbagai forum internasional, membahas isu-isu terkait inovasi, teknologi, dan kepemimpinan. Ia pernah diundang ke TEDx Jakarta dan menjadi panelis di World Economic Forum Youth Edition. Keberhasilannya diterima di dua kampus elite ini menunjukkan bahwa dengan persiapan yang tepat, disiplin, dan tujuan yang jelas, mimpi untuk kuliah di universitas dunia bukan hal yang mustahil. Tips dari Deris: “Mulai dari kecil, tapi konsisten. Satu proyek yang kamu jalankan dengan serius lebih berharga daripada 10 ide yang hanya di pikiran.”

2. Fathia Fairuza — Columbia University

Sebagai pendiri Shape Your Life Indonesia, Fathia Fairuza adalah contoh nyata perempuan muda yang berani menciptakan perubahan. Organisasi yang ia dirikan sejak 2018 ini telah menjangkau lebih dari 200.000 perempuan muda di seluruh Indonesia melalui program kesehatan mental, pelatihan kepemimpinan, dan kampanye anti-bullying. Fathia melanjutkan studinya di Columbia University, salah satu universitas Ivy League yang sangat selektif dan prestisius, dengan jurusan Psychology dan Public Policy.

Fathia mengaku perjalanannya tidak mudah. Ia harus menyeimbangkan sekolah, organisasi, dan persiapan tes masuk universitas. Skor GRE-nya mencapai 328/340, IELTS 8.5, dan ia menulis personal statement yang sangat personal tentang pengalamannya mengatasi kecemasan sosial dan bagaimana hal itu mendorongnya mendirikan Shape Your Life. Columbia tertarik karena Fathia tidak hanya memiliki nilai tinggi, tapi juga sudah menciptakan gerakan nasional yang terukur dampaknya.

Perjalanan Fathia menuju Columbia tentu tidak mudah. Ia harus menghadapi berbagai tahapan seleksi yang menantang, termasuk persiapan tes seperti TOEFL, GRE, dan juga menyusun personal statement yang kuat. Ia menghabiskan 6 bulan hanya untuk menulis dan merevisi esai, dibantu oleh mentor dari alumni Columbia. Namun, semangatnya untuk belajar dan berkontribusi bagi masyarakat menjadi pendorong utama keberhasilannya. Saat ini, Fathia aktif di Columbia Global Mental Health Program dan sedang mengembangkan kurikulum kesehatan mental untuk sekolah-sekolah di Indonesia.

Tips dari Fathia: “Jangan takut ceritakan kelemahanmu di esai. Justru itulah yang membuatmu unik. Columbia tidak mencari orang sem11 sempurna, tapi orang yang belajar dari kegagalan.” Ia juga menyarankan untuk mulai belajar GRE sejak awal kuliah S1, karena persaingan untuk program pascasarjana sangat ketat.

3. Zhafira Aqyla — Harvard University

Zhafira Aqyla dikenal sebagai pendiri Tau Lebih, sebuah gerakan edukatif yang fokus pada literasi dan penyebaran informasi yang kredibel kepada generasi muda. Platformnya memiliki lebih dari 1,8 juta followers di Instagram dan TikTok, dan telah memverifikasi lebih dari 8.000 berita hoaks sejak 2020. Zhafira berhasil menembus Harvard University, universitas nomor satu di dunia yang memiliki standar akademik tertinggi, dengan jurusan Government dan certificate in Data Science.

Skor SAT Zhafira mencapai 1590/1600, TOEFL iBT 120/120, dan ia menyelesaikan 7 mata pelajaran AP dengan nilai sempurna. Esainya berjudul “Fighting Misinformation in the Digital Age” menceritakan bagaimana ia membangun Tau Lebih dari akun Instagram kecil menjadi gerakan nasional yang bekerja sama dengan Kominfo. Harvard tertarik karena Zhafira sudah memiliki dampak sosial yang terukur dan kemampuan analisis data yang kuat.

Baca juga: Inilah Kampus Terbaik di Dunia Berdasarkan Arsitekturnya

Proses untuk masuk Harvard tentu tidak sederhana. Selain nilai akademik dan kemampuan bahasa Inggris yang tinggi, Harvard juga sangat menekankan pentingnya dampak sosial dari calon mahasiswa. Zhafira harus mengikuti wawancara dengan alumni Harvard di Jakarta, dan ia berhasil meyakinkan mereka dengan data dan cerita nyata dari Tau Lebih. Saat ini, ia menjadi editor di Harvard Crimson dan sedang mengembangkan AI untuk deteksi hoaks berbahasa Indonesia.

Dengan rekam jejaknya sebagai penggerak komunitas dan pemimpin muda, Zhafira berhasil menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang layak berada di lingkungan Harvard. Tips dari Zhafira: “Bangun portofolio digital sejak dini. Harvard suka melihat bukti nyata, bukan hanya janji. Gunakan LinkedIn, GitHub, atau website pribadi untuk menampilkan proyekmu.”

4. Meria Cellin Wijaya — Harvard Medical School

Meria Cellin Wijaya adalah sosok inspiratif di dunia medis. Sebagai pendiri Empower Indonesia, ia berfokus pada advokasi kesehatan mental dan akses kesehatan yang merata untuk masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di daerah terpencil. Program “Dokter Digital” miliknya telah melayani lebih dari 70.000 pasien di Papua, NTT, dan Kalimantan melalui telemedicine. Kecintaannya terhadap dunia medis dan komitmen untuk membantu sesama membawanya kuliah di Harvard Medical School, institusi pendidikan kedokteran terbaik di dunia, dengan fokus pada Global Health and Social Medicine.

Skor MCAT Meria mencapai 520/528, dan ia memiliki 5 publikasi di jurnal internasional seperti The Lancet dan BMJ. Ia juga memiliki pengalaman riset di WHO dan RSCM Jakarta. Esainya menceritakan bagaimana ia kehilangan saudara karena keterlambatan akses medis di daerah, dan bagaimana hal itu mendorongnya mendirikan Empower Indonesia. Harvard Medical School tertarik karena Meria sudah memiliki pengalaman klinis dan dampak sosial yang signifikan.

Meria tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga dalam hal kemanusiaan. Ia aktif dalam berbagai proyek kolaborasi lintas negara, termasuk dengan UNICEF dan Kemenkes RI, dan dipercaya memimpin sejumlah inisiatif internasional yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Saat ini, ia sedang mengembangkan wearable device untuk deteksi dini gangguan jiwa di Harvard-MIT Health Sciences and Technology Program. Tips dari Meria: “Untuk kedokteran, pengalaman klinis adalah kunci. Shadow dokter, volunteer di rumah sakit, dan lakukan riset sejak S1.”

5. Khansa Khalisa — Harvard University

Khansa Khalisa adalah salah satu co-founder dari Empower Indonesia, bersama Meria Cellin. Sebagai aktivis muda, Khansa berperan aktif dalam menyuarakan isu-isu kesetaraan gender, inklusi sosial, dan pemberdayaan anak muda melalui kampanye #GadisBisa yang viral di 2022 dan mengumpulkan 600.000 tanda tangan untuk RUU TPKS. Dengan tekad yang kuat untuk memperluas dampak sosial, Khansa melanjutkan studinya di Harvard University, mengambil jurusan Social Studies dengan minor di Women, Gender, and Sexuality Studies.

Skor SAT Khansa mencapai 1560/1600, IELTS 9.0, dan ia memiliki pengalaman memimpin lebih dari 80 workshop di 25 kota. Esainya berjudul “From Fisherman’s Daughter to Policy Advocate” menceritakan perjalanannya dari anak nelayan di Banyuwangi hingga menjadi pembicara di Harvard Kennedy School. Harvard tertarik karena Khansa mewakili suara dari komunitas marginal dan sudah menciptakan perubahan kebijakan nyata di Indonesia.

Keberhasilannya menembus Harvard bukan hanya karena kecerdasan akademik, tetapi juga karena kemampuannya membangun komunitas dan mempengaruhi perubahan positif di sekitarnya. Saat ini, ia menjadi presiden Harvard Indonesia Student Society dan sedang magang di UN2 Women. Harvard melihat potensi kepemimpinan dan semangat perubahan yang dibawa Khansa sebagai aset berharga dalam ekosistem mereka. Tips dari Khansa: “Ceritakan cerita aslimu. Jangan coba jadi orang lain. Harvard suka authenticity.”

6. Sabrina Anggraini — Massachusetts Institute of Technology (MIT)

Terakhir, namun tak kalah mengesankan, adalah Sabrina Anggraini, co-founder dari Natuno, sebuah startup yang berfokus pada keberlanjutan lingkungan dan teknologi hijau. Natuno mengembangkan bioplastik dari limbah sawit yang sudah diproduksi 120 ton dan digunakan oleh lebih dari 300 UMKM di Indonesia. Sabrina dikenal sebagai inovator muda yang sangat passionate terhadap solusi berbasis teknologi untuk isu lingkungan, terutama pengurangan plastik sekali pakai.

Baca juga: Kosakata Jerman dalam Dunia Kerja yang Wajib Kamu Hafal

Ia melanjutkan pendidikannya di Massachusetts Institute of Technology (MIT), kampus teknologi nomor satu dunia yang telah melahirkan banyak tokoh revolusioner seperti Kofi Annan, Buzz Aldrin, hingga tokoh AI seperti Marvin Minsky. Sabrina mengambil jurusan Materials Science and Engineering dengan fokus pada Sustainable Materials. Skor SAT-nya 1600/1600, SAT Subject Tests Physics dan Chemistry 800/800, dan ia memiliki 3 paten sementara. Ia juga menjadi pemenang MIT THINK Award dan Legatum Fellow.

Sabrina menunjukkan bahwa perempuan juga bisa bersinar di dunia teknologi dan sains. Keberhasilannya di MIT menjadi bukti bahwa dengan persiapan matang dan visi yang jelas, anak muda Indonesia bisa bersaing di panggung global. Saat ini, ia sedang mengembangkan material baru di MIT Media Lab yang bisa mengurangi emisi karbon hingga 70 persen. Tips dari Sabrina: “MIT mencari maker, bukan dreamer. Buat prototipe, ikuti hackathon, dan daftarkan paten sementara. Jangan takut gagal—saya gagal 17 kali sebelum berhasil.”

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Mereka?

Keenam sosok di atas memiliki satu kesamaan: mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki visi, aksi nyata, dan kepemimpinan sosial. Mereka tidak menunggu kesempatan datang, tapi menciptakan kesempatan sendiri sejak remaja. Dunia pendidikan tinggi internasional saat ini tidak hanya mencari siswa dengan nilai tinggi, tetapi juga individu yang memiliki nilai tambah, seperti kontribusi kepada masyarakat, pengalaman organisasi, dan inisiatif mandiri. Data dari Harvard Admissions menunjukkan bahwa 65 persen penerima memiliki leadership position, 50 persen punya proyek sosial, dan 35 persen punya publikasi atau paten.

Kunci sukses mereka adalah persiapan dini, strategi yang terarah, dan dukungan yang tepat. Mereka semua mulai belajar untuk tes standar sejak kelas 10 atau 11, membangun portofolio ekstrakurikuler selama 3–4 tahun, dan menulis esai yang autentik dan penuh data. Mereka juga tidak ragu mencari bantuan dari mentor, konsultan pendidikan, atau komunitas alumni. Namun, untuk sampai ke tahap tersebut, dibutuhkan fondasi yang kuat sejak awal. Salah satunya adalah kemampuan dalam berbahasa Inggris yang baik serta penguasaan berbagai tes internasional seperti:

  • SAT (Scholastic Assessment Test) – tes standar masuk universitas di Amerika Serikat, fokus pada Math dan Evidence-Based Reading & Writing.
  • IELTS (International English Language Testing System) – tes kemampuan bahasa Inggris yang umum digunakan untuk studi di negara-negara persemakmuran seperti UK, Australia, dan Kanada.
  • TOEFL iBT / TOEFL ITP – tes kemampuan bahasa Inggris yang banyak disyaratkan untuk kuliah di Amerika dan beberapa negara lainnya, dengan format iBT yang lebih modern.
  • GRE (Graduate Record Examination) – tes masuk untuk program S2 di berbagai kampus dunia, khususnya bidang sains, teknik, dan sosial.
  • GMAT (Graduate Management Admission Test) – tes standar untuk masuk ke program MBA di sekolah bisnis top dunia.
  • ACT (American College Testing) – alternatif dari SAT dengan format yang berbeda, termasuk section Science.
  • GED (General Educational Development) – sertifikasi yang setara dengan ijazah SMA, cocok untuk gap year atau homeschooling.

Butuh Bantuan untuk Persiapan Tes Masuk Universitas Dunia?

Mungkin kamu terinspirasi dan mulai bermimpi untuk menyusul mereka, menempuh pendidikan di Harvard, MIT, atau Columbia. Tapi kamu bingung harus mulai dari mana? Tenang saja, Ultimate Education hadir sebagai solusi terbaik bagi kamu yang ingin menyiapkan diri masuk ke kampus impianmu! Kami menyediakan kursus dan bimbingan intensif untuk SAT, IELTS, TOEFL iBT, TOEFL ITP, GMAT, GRE, ACT, hingga GED, dengan pengajar berpengalaman yang sudah membantu ribuan siswa Indonesia masuk universitas top dunia.

Dengan kurikulum berbasis internasional, pengajar berpengalaman (banyak yang alumni Ivy League), serta sistem belajar yang fleksibel dan personal (bisa online atau offline), kami siap mendampingi langkahmu dari nol hingga diterima. Kami tidak hanya mengajarkan materi, tapi juga strategi belajar, teknik mengerjakan soal, manajemen waktu, dan simulasi ujian realistis. Ultimate Education juga akan membantu kamu dalam penyusunan personal statement, review esai, simulasi wawancara, dan konsultasi pemilihan kampus yang sesuai dengan minat, profil, dan tujuan kariermu.

Kami punya track record yang terbukti: 98 persen siswa naik 200+ poin SAT dalam 3 bulan, 95 persen capai IELTS 7.5+ dalam 4 bulan, dan 87 persen siswa kami diterima di universitas top 50 dunia. Banyak alumni kami yang sekarang kuliah di Harvard, Stanford, MIT, Oxford, dan Cambridge dengan beasiswa penuh.

Bersama Ultimate Education, wujudkan impian kuliah di luar negeri bukan hanya sekadar angan-angan, tapi jadi kenyataan. Kami percaya setiap anak Indonesia punya potensi untuk bersaing di level global—asalkan dibekali persiapan yang tepat.

Ingin tahu lebih lanjut?
Kunjungi [Ultimate Education] atau hubungi tim kami untuk konsultasi GRATIS + tes diagnostik SAT/IELTS gratis. Mulai perjalananmu menuju kampus top dunia hari ini—karena masa depanmu dimulai dari langkah kecil yang kamu ambil sekarang!